Saturday, November 13, 2010

Spektrum

By A. Rodhi Murtadho

Spektrum terus memancar. Mengaromakan anyir yang tak henti-henti. Menindas segala galau dan cemas. Suara-suara sumbang tak mendamaikan. Amarah Karti menambah keruh pikiran. Murka semua orang di kala kembang desa yang banyak dipuja lelaki tiba-tiba seperti orang gila. Semua lelaki diajaknya senggama. Membiarkan mereka menikmati tubuhnya yang dulu benar-benar dijaga kesuciannya agar benar-benar menjadi kembang desa tulen.

Dia selalu meramu rayuan yang sudah terdengar memuakkan.
Tapi lelaki tak memperdulikannya, yang penting ujung-ujungnya mereka bisa menikmati tubuh pualam. Mencicipi bibir merah delima. Harum rambut yang tergerai menyapa. Sampai mereka bisa memasukkan nafsunya untuk merasakan kenikmatan yang telah banyak dicicipi.

***

Damai alam menyejukkan hati. Menyegarkan kepenatan yang terbawa. Damai. Karmi terus menyandarkan kepala di pundaknya. Harapan yang selama ini terus berpendar dalam dirinya. Cumbu rayu sudah tak begitu asing mereka lakukan. Pemuas nafas yang sudah jarang merasakan hangat nafas sendiri. Membiarkan diri mereka menyelam dalam segara. Saling memberi kelembutan, kesejukan, kenikmatan, kehangatan sampai mencapai puncak, kepanasan.

Pakaian mereka terlepas dengan mulut sudah terengah-engah, menyatu. Membuka BH mereka. Tangan mereka saling mengklentit dengan nada dan cibiran yang merindu, merenda dalam kamar Karti. Jendela sengaja dibiarkan terbuka. Membiarkan angin masuk. Mendinginkan tubuh mereka yang sudah basah dengan keringat.

***

Ia mengenal Katmo sudah setahun yang lalu. Pertemuannya di sawah membuat Katmo selalu datang di rumahnya ketika malam minggu. Melancarakan kata-kata ke benaknya. Ia tak juga tergugah. Ia ingat kalau kalimat manis selalu ia dapatkan. Selalu ibunya dapatkan dari ayahnya.

Kekaguman pada ayahnya, pada awalnya, membuat ia mempercayai begitu saja ucapan. Apapun itu. Satu-satunya orang yang dianggap mengerti dan selalu memenuhi kebutuhannya dan ibu. Tak menaruh curiga. Kenyataan berbicara lain. Ayahnya selalu tak menepati sendiri kata-katanya. Mengingkari segala janji dan sumpah. Ia terbius dalam kekecewaan yang dilihat dalam pertengkaran ayah dan ibunya setiap hari.

Ia hanya duduk termangu di beranda. Menyaksikan perang yang tak berujung. Ayah dan ibunya. Ia tahu kalau ayahnya selalu berkelakuan tak mengenakkan bagi ibu dan dirinya. Ia tahu kalau ibu yang dikenalnya penuh kelembutan dan kasih sayang. Selalu bersabar. Menceritakan tentang kedamaian meski setiap hari ia melihat ibunya tak bisa berdamai. Menceritakan kancil yang cerdik meski tiap hari ia melihat ibunya hanya pasrah menerima tamparan dari ayahnya. Tak bisa menghentikan segala kemunafikan. Ia hanya tahu tubuh ibunya lebam karena ayahnya.

Ketakutan tak menyurutkannya untuk selalu berusaha berbuat baik kepada ayahnya. Menawarkan segala kasih yang tak bisa diberikan lagi ibunya yang telah meninggal. Mungkin meninggal karena kesal disiksa. Ia melucuti pakaiannya sendiri di depan ayahnya yang tengah mabuk. Ia ingin menjadi pengganti ibu yang lembut dan penuh kasih sayang. Ia memperlakukan ayahnya seperti ibu memperlakukannya. Dulu, ia pernah mengintip ibu dan ayahnya yang berada di kamar sedang terengah-engah penuh keringat. Saling tindih. Menawarkan segala kenikmatan tubuh untuk dikulum dalam bibir. Melumat segala tonjolan yang menjebak rasa nikmat. Ia tahu ibu tersenyum meski ayahnya memukul dan menggigitnya. Ia hanya heran.

Ayahnya sepeti dimasuki roh banteng. Menggosokkan kakinya siap meluncur. Hidungnya mulai mengendus aroma perawan anaknya. Hanya tahu kalau yang berada di hadapannya hanya seorang perempuan yang akan memberikan kenikmatan dari selangkangannya. Tak mengenal lagi darahnya juga mengalir di sana bersama istrinya.

Ia terus mengenduskan nafasnya yang tak juga teratur oleh tindihan ayahnya. Ia tahu ibu selalu tersenyum ketika ayahnya dengan erangan nafas babi berada di atasnya. Ia tersenyum.

***

Kembang desa sudah menjadi momok yang khas di desa Tanggul. Sosok yang melantunkan nama Karti. Mengalun dari berbagai percakapan. Banyak jejaka yang tak bisa melewatkan untuk tak membicarakannya. Membahas segala andai yang bisa dilakukan bersamanya. Sebagai pasangan atau kadang sebagai pembantu.

Semua orang ingin memiliki keindahannya. Karmi terus berusaha mendekati Karti dengan setangkup harap cemas. Mengetahui segala yang menimpanya. Ia tahu kalau dia punya masalah hampir sama dengannya. Lelaki. Tidak membencinya. Tapi kadang menjadi momok yang menakutkan. Ia banyak bercerita panjang lebar tentang dirinya. Kisah yang sama. Dia seperti mendengar bibirnya sendiri mengucapkan kata-kata. Dia merasakan kepedihan yang sama dengan ia.

“Kau tahu kalau aku tak pernah membenci lelaki, hanya saja jiwaku ini sudah terukir seolah sama dengan mereka. Ketika ayah merenda diriku dengan nada keras kemarahannya atau pukulan-pukulan di sekujur tubuh,” dia berucap.

“Kalau aku, harus menjadi pengganti ibu, suami ayah. Meninabobokkannya di antara selangkangan. Di atas tubuhku,” ia berucap.

“Aku sudah menjadi laki-laki.”

“Aku butuh lelaki sepertimu, bukan seperti ayahku.”

Tak ada pemandangan aneh yang menguras simpati. Mereka bersahabat. Bergantian saling mendatangi rumah. Mencibir setiap kelam di antara pengapnya udara kamar. Berbagi kasih. Bingung menerkam. Tak ada mangsa atau pemangsa. Hanya gesekan-gesekan lembut wangi tangan. Belaian halus mengalun dari rambut sampai kaki. Lidah-lidah mulai bergentayangan. Peluh mulai berleleran. Tak ada rasa canggung. Semua bentuk sama menyatu dalam kerinduan panjang.

Lenguhan selalu terdengar dari kamar ketika mereka bersama. Menadakan kebimbangan yang sama. Harus terpekur lama di atas ranjang untuk menunggu haru. Membentangkan pikiran tak menjelaskan apapun. Semua samar dalam semilir penat. Tak mengisyaratkan. Tak juga menandakan. Apalagi menghasilkan. Hanya kepuasan dan kebutuhan terpenuhi.

Desas-desus itu sudah terdengar sampai sudut-sudut desa. Bahkan sampai mancadesa. Dia pun mendengar. Tak memprotes atau mengumpat. Dia hanya pasrah pada yang ada. Merasa, mungkin tak ada kelayakan. Tahu dia dan ia sama.

“Katanya kau akan menikah dengan Katmo?” kata dia.

“Sebenarnya aku tak mau menikah dengan orang yang tak mengerti tentang diriku. Aku tahu tubuhku yang dibutuhkannya. Pemuas nafsu. Semua atas paksaan ayah. Maafkan aku.”

“Kau tidak salah. Tidak perlu minta maaf. Rasa kita yang salah, tak terarah dengan benar.”

“Tapi bagaimana pun aku masih tetap membutuhkan kelembutanmu bukan kekar otot darinya. Aku hanya akan terpuaskan denganmu. Aku yakin itu.”

“Kalau kita percaya, kita bisa melakukannya selagi kita mau. Toh tak ada yang curiga. Mereka hanya tahu kita adalah sahabat karib. Itu sudah jelas. Kita tak butuh pengakuan resmi masyarakat desa akan hubungan kita. Status hanya akan memperkeruh suasana. Lebih-lebih keadaan kita.”

Malam dingin walau tak berkabut serasa dingin menyelimuti. Hangat tubuh merapat memenuhi ihwal. Suara jangkrik terus menjadi penyemangat. Gurauan menjadi penghangat diantara nafas yang semakin cepat. Nyamuk tak berani mendekat lantaran takut lekat dengan keringat. Dia sengit melancarkan serangan mautnya. Mengulurkan lidah dan menggoyang-goyangkannya masuk ke dalam mulut ia. Beranjak ke tubuh. Menyapu bersih dan licin sampai masuk selangkangan. Ia hanya mengeluh tak karuan. Terdiam tubuh. Tetapi tangan ia selalu bergerak dalam tubuh dia.

***

Katmo telah menceraikannya. Perhatian yang ia berikan dirasakan Katmo sangat kurang. Kini ia hanya sendirian di rumah. Bersama ayahnya yang sudah tak berdaya. Kembang ranjang. Bicara pun sudah susah. Menggantung nyawa. Sudah tak berharap.

Ia semakin sulit menemui dia. Alasan kesibukan dari dia yang ia terima tak memuaskannya. Ia pernah tahu suatu malam kalau dia dibonceng seorang lelaki. Melekat tubuhnya. Tak jelas siapa lelaki itu karena kepulan pekat hitam malam menutup mukanya. Hanya suara dia yang bisa menunjukkan dengan jelas mukanya. Itu pun terlihat dari belakang.

Dia kaget dengan sangat saat pintu dibuka. Ia muncul tak permisi seperti biasanya. Dia bingung beranjak. Tubuh Katmo mendekapnya erat. Menindihnya. Dia hanya menyapa bingung. Dia tak bergerak sedikit pun. Mereka bertiga saling memandang. Mantan suami dilihat di atas tubuh dia. Tidak percaya ia rasakan.

Ia segera melarikan kakinya keluar kamar dan terbang keluar rumah. Ia sulit percaya kalau dia sudah berubah. Tapi mengapa dia memilih mantan suaminya. Ia meninggalkan Katmo demi dia. Mengapa dia tak mengerti juga. Ia menganggap dia adalah orang yang paling mengerti dirinya. Ia sampai di rumah dan kepedihan harus bertambah ketika ia tahu ayahnya sudah terbujur kaku di ranjang.

Lamongan, 9 Juli 2006

No comments: